Artikel

Memujudkan Rumah Tangga 


Bahagia 





Muqodimah 


Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam 


semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ShalAllahu’alaihi wa 


sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. 


Pembicaraan tentang pernikahan sudah sering berulang. 


Namun, apabila kita membaca tulisan-tulisan ilmiah dari orang 


yang berilmu -baik dari ulama maupun penuntut ilmu syar’i- 


tentang masalah ini, sepertinya ada saja sisi yang menarik untuk 


disampaikan kepada Pembaca dan perlu diingatkan kepada insan 


yang akan atau telah melangsungkan pernikahan. Untuk yang 


akan menikah, maka semoga bisa menjadi bahan renungan 


sebelum melangkah. Adapun bagi yang sudah menikah, diharap 


bisa menjadi bahan introspeksi untuk mempertahankan apa yang 


telah dijalani dan dapat membawa bahtera ke ‘pulau bahagia’ 


yang diimpikan. Tulisan di bawah ini pun idenya berawal dari hasil 


membaca artikel yang cukup panjang tentang rumah tangga dan 


pernikahan karya asy-Syaikh Salim al-‘Ajmi hafizhahullah yang 


dimuat di Muntadayat al-Ukht as-Salafiyyah, sebuah situs internet 


yang khusus ditujukan untuk para muslimah. Muncul rasa ingin 


berbagi kepada pembaca muslimah dengan menengadahkan 





kedua tangan memohon kepada Rabbul Alamin agar dianugerahi 


keikhlasan dalam berbuat, kami pun menyusun nukilan-nukilan 


dari tulisan tersebut ditambah narasumber yang lain. Semoga bisa 


memberi manfaat untuk sesama, ketahuilah wahai muslimah! 


Berdirinya sebuah rumah yang dipenuhi kebahagiaan adalah 


tujuan yang ingin dicapai dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh 


setiap orang. Rumah adalah tempat berdiam yang selalu dituju 


setelah diterpa kelelahan dan kepenatan di luar sana. Apabila 


seseorang pulang ke rumahnya, lalu didapatinya rumah yang 


tenang dan dirasakannya ketenteraman di dalamnya, berarti 


kebahagiaan ada bersamanya. Betapa banyak rumah yang kecil 


dan sempit, namun kebahagiaan menjadikannya luas lagi lapang. 


Sebaliknya, betapa banyak kediaman yang besar dan luas, namun 


kegersangan menjadikannya lebih sempit daripada lubang jarum. 


Tidak ada keinginan penghuninya selain meninggalkan rumah 


tersebut. Tidak ada kebetahan berdiam di dalamnya. Mereka 


berusaha mengobati rasa sempit mereka dengan lari dari sebab


sebabnya. Ternyata, rumah mereka telah ‘roboh’ diempas oleh 


badai kesengsaraan, untuk mewujudkan sebuah ‘rumah bahagia’, 


sudah merupakan keniscayaan seorang lelaki menggandeng 


tangan seorang wanita untuk hidup bersamanya di rumah 


tersebut dalam ikatan yang suci. Kebersamaan ini merupakan 





tujuan agung, yang dengannya terwujud kasih sayang, kedekatan,  


dan persahabatan. Kebersamaan dalam nikah termasuk 


kenikmatan terbesar yang diberikan oleh Allah Shubhanahu 


wata’alla kepada para hamba. Dengannya, dihasilkanlah 


ketenangan yang dapat memenuhi hati sepasang insan. 


Sungguh, tidak ada kebersamaan insan yang menyamai 


pernikahan. Karena itulah, Allah Shubhanahu w ata’alla berfirman 


mengingatkan nikmatnya tersebut, sementara Dia adalah Dzat 


yang paling benar ucapan -Nya: “Dan di antara tanda-tanda 


kekuasaan -Nya; -Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri


diri kalian, agar kalian merasakan ketenangan kepadanya dan Dia 


jadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang. Sungguh yang 


demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau 


berpikir.” (ar-Rum: 21).  


Perhatikanlah. Di dalam ayat di atas Allah Shubhanahu 


wata’alla menyebutkan dengan lafadz   





 ) yang 


berarti “agar kalian merasakan ketenangan kepadanya”, tidak 


dengan lafadz 


 (  


 ) (sakan ma’a) karena sakan ma’a 


(bersama) sesuatu bisa disertai kecintaan kepadanya dan bisa 


pula tidak. Adapun sakan ila (kepada) sesuatu mengandung 





 





makna yang lebih besar daripada kedekatan, cinta, kecondongan, 


dan ketenangan. 


Sepanjang apa pun pencarian seseorang dalam hidupnya 


guna beroleh teman yang dapat membuatnya tenang dan 


tenteram jiwanya saat berdekatan, dia tidak akan mendapatkan 


teman yang seperti seorang istri. Sebaliknya, seorang wanita pun 


tidak akan beroleh teman seperti suami. Inilah fitrah insan yang 


kita tidak bisa lari dan lepas darinya. Allah Shubhanahu wata’alla 


berfirman: 


 


“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu 


(Adam) dan dari jiwa yang satu itu Dia jadikan pasangannya 


(Hawa) agar si jiwa yang satu merasa tenang dengan keberadaan 


pasangannya.” (al-A’raf: 189). 


Seandainya Allah Shubhanahu w ata’alla menjadikan anak 


Adam itu seluruhnya laki-laki dan dijadikan -Nya perempuan 


mereka dari jenis yang lain, bukan jenis manusia, mungkin dari 


jenis jin atau hewan, niscaya tidak mungkin terjalin kedekatan di 


antara mereka, yang terjadi justru yang satu akan lari menjauh 


dari yang lain. Di samping menjadikan pasangan manusia adalah 


manusia juga, pria berpasangan dengan wanita sebagai istrinya, 


Allah Shubhanahu wata’alla juga menyempurnakan nikmat -Nya 


kepada anak Adam dengan ditumbuhkan -Nya rasa cinta dan 


kasih sayang di antara suami istri tersebut. Seorang lelaki tetap 


menahan seorang wanita dalam ikatan pernikahan dengannya, 


bisa jadi karena dia mencintai istrinya tersebut, atau dia 


menyayanginya dengan adanya anak yang terlahir dari si istri, 


atau karena istrinya butuh kepadanya untuk memperoleh  


infak/belanja, atau adanya kedekatan di antara keduanya. (Tafsir 


Ibni Katsir, 6/171).  


Siapa yang merenungkan hal ini niscaya dia akan berusaha 


dengan serius mencari belahan dirinya yang hilang. Barangkali, 


belahan jiwanya bisa didapatkan pada seseorang yang 


menenteramkan pandangan matanya, menenangkan jiwanya, dan 


membahagiakan dirinya. Sesuatu yang sekian lama dirasakannya 


sebagai ruang yang belum terisi dalam hatinya. Tatkala pada 


akhirnya dia mengakhiri kesendiriannya dengan menikah, 


tertutuplah kekosongan ruang tersebut. Kini, telah ada yang 


mengisi kebahagiaan hatinya. Saat seorang lelaki yang saleh 





 





mencari tambatan hatinya, tentu tidak pernah lupa menghadirkan 


sabda Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam yang mulia: 


 


“Dunia itu perhiasan1 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah 


wanita salehah.” (HR. Muslim no. 3638 dari Abdullah ibnu Amr 


ibnul Ash). 


Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam, dunia berikut isinya 


tidak lain hanyalah kesenangan dan perhiasan. Sebaik-baik 


kesenangan yang bisa dinikmati oleh seorang hamba di dunia ini 


adalah wanita salehah, yang akan menjadi perhiasan bagi 


rumahnya. Apabila dia memandangnya, dia merasa senang. 


Apabila dia pergi, si wanita akan menjaga dirinya untuknya dan 


menjaga hartanya. Karena itulah, seorang penyair Arab berkata, 





Yang paling utama yang diperoleh seorang pemuda setelah 


petunjuk dan afiah adalah teman muslimah yang menjaga 


kehormatan dirinya 


 


Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam pernah bersabda tentang 


kebahagiaan dan kesengsaraan. Beliau menyatakan: 





“Tiga perkara termasuk kebahagiaan dan tiga perkara termasuk 


kesengsaraan. Yang termasuk kebahagiaan adalah wanita 


salehah, yang apabila engkau lihat akan mengagumkanmu, 


apabila engkau pergi meninggalkannya engkau merasa aman dari 


(pengkhianatan/perselingkuhan) nya (karena dia menjaga dirinya 


untukmu) dan aman hartamu (karena dia menjaga hartamu). 


(Yang kedua) tungganganyang jinak/tangkas (enak ditunggangi) 


sehingga dia menyusulkanmu dengan teman-temanmu (tidak 


membuatmu tertinggal dari rombongan), dan (yang ketiga) 


rumah yang luas


 lagi


 banyak


 ruangannya. 


Termasuk kesengsaraan adalah istri yang apabila engkau 


melihatnya tidak menyenangkanmu, lisannya menyakitimu, 


apabila engkau pergi meninggalkannya engkau tidak merasa 


aman dari pengkhianatannya dan tidak aman hartamu (karena ia 


tidak menjaganya, bahkan berkhianat dalam hal dirinya dan 


harta suami). (Yang kedua) tunggangan yang lambat, tidak 


nyaman dinaiki. Apabila engkau memukulnya, dia akan 


membuatmu capek, namun apabila engkau biarkan, dia tidak bisa 


menyusulkanmu dengan teman-temanmu (membuatmu 


tertinggal dari rombongan). (Yang ketiga) rumah yang sempit lagi 


sedikit ruangannya.” (HR. al-Hakim


 dalam ash-Shahihah no. 1047) 


2/162, dinyatakan sahih 


Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat Rasulullah 


Shalallahu ‘alihi wa sallam yang utama, sekaligus saudara misan 


dan menantu beliau, pernah berkata, 


“Termasuk kebahagiaan seorang lelaki apabila ia memiliki istri 


yang salehah, anak-anak yang berbakti, saudara-saudara yang 


mulia, dan tetangga yang baik, ditambah lagi rezekinya bisa 


10 


diperoleh di negerinya sendiri (tidak perlu merantau untuk 


mencari rezeki).” 


Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda kepada Umar 


ibnul Khaththab radiyallahu ‘anhu: 





 “Maukah aku beri tahukan kepadamu tentang sebaik-baik 


perbendaharaan seorang lelaki? Yaitu istri salehah yang apabila 


dipandang akan menyenangkannya, apabila diperintah akan 


menaatinya, dan apabila ia pergi si istri akan menjaga dirinya 


untuk suaminya.” (HR. Abu Dawud no. 1417, dinyatakan sahih 


menurut syarat Muslim dalam al-Jami’ush Shahih 3/57) 


Ketika Umar ibnul Khaththab radiyallahu ‘anhu menanyakan harta 


terbaik yang dimiliki seorang insan, Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa 


sallam menjawab: 





 “Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang 


11 


bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri mukminah yang 


membantunya dalam urusan akhiratnya.” (HR. Ibnu Majah no. 


1856,


 dinyatakan sahih 


dalam Shahih Ibni Majah) 


Merupakan kemestian bagi seorang wanita, apabila datang 


seorang lelaki kepada walinya, hendaknya ia memperhatikan 


kebaikan agama dan akhlak si lelaki tersebut. Hal ini karena orang 


yang diterimanya sebagai teman hidupnya nanti adalah surga dan 


nerakanya. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah 


Shalallahu ‘alihi wa sallam kepada bibi Hushain ibnu Mihshan kala 


mendorongnya untuk membaikkan pergaulannya terhadap 


suaminya: 


“Dia adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan yang 


lainnya, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah hlm. 285) 


Sungguh, termasuk kebahagiaan terbesar bagi seorang wanita 


apabila dianugerahi suami yang saleh, yang menjadi pelipur 


laranya, teman berbagi suka dan derita, yang selalu melapangkan 


diri untuk menolong pekerjaannya, menjadi penopang yang kuat 


dalam hidupnya, yang melindunginya saat dia merasa takut, yang 


mengisi harinya dengan kasih sayang dan kelembutan. 


Siapa gerangan yang tak hendak memiliki rumah tangga 


bahagia, yang dipenuhi mawaddah wa rahmah? Setiap insan yang 


berakal lurus tentu mendambakannya. Islam telah memberikan 


12 


aturan yang sempurna dan kiat-kiat jitu untuk mewujudkannya, 


sebelum membinanya, di saat menjatuhkan pilihan, dan dalam 


perjalanan membinanya. Seorang lelaki dan seorang wanita yang 


telah memutuskan untuk melangkah ke kehidupan orang dewasa, 


hendaknya menyadari bahwa mereka menikah dengan anak 


manusia yang sebagaimana dimaklumi tidak ada yang sempurna. 


Bahkan, manusia adalah tempat salah dan dosa, seperti kata 


Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam, 


“Setiap anak Adam bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah 


adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad, dinyatakan 


hasan dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 4515 dan al-Misykat 


no. 2341) 


Seorang lelaki tidaklah menikah dengan bidadari yang 


sempurna. Seorang wanita tidak pula dinikahi oleh pria yang 


sesuci malaikat. Oleh karena itu, hendaknya setiap pihak 


menyadari bahwa dalam perjalanan rumah tangga, masing


masing akan mendapatkan kekurangan dan kesalahan dari 


pasangannya. Karena itulah, kehidupan dua anak manusia yang 


semula tidak saling mengenal, kemudian bersatu dalam sebuah 


atap, sebuah kamar, bahkan satu selimut, tidak menutup 


kemungkinan akan muncul kesalahpahaman. Ini adalah suatu 


13 


kewajaran orang yang hidup bersama. Pikirkanlah wahai para 


suami. 


Andai salah seorang dari kalian memiliki teman 


seperjalanan selama berbulan-bulan, apakah bisa digambarkan di 


antara keduanya tidak pernah terjadi kesalahpahaman? Orang 


yang menuntut agar selamanya tidak terjadi kesalahpahaman 


berarti


 dia


 telah menuntut sesuatu yang mustahil. 


Lantas, bagaimana kiranya dengan seorang wanita yang hidup 


bersama anda sepanjang umur Anda yang tersisa, atau seorang 


lelaki yang hidup bersama Anda, wahai wanita, sampai akhir 


hayat Anda? Apakah anda ingin suci dari kesalahan atau maksum 


dari ketergelinciran? Siapa yang tidak bisa bergaul dengan teman 


hidupnya dengan menerima segala kekurangan yang ada -selama 


urusannya bukan cacat dalam hal agama atau akhlak- niscaya 


hidupnya lebih dekat kepada kekeruhan daripada kejernihan. 


Barangkali, perjalanan waktu akan membawanya kepada rasa 


benci dan permusuhan, keputusasaan dari meraih cinta dan kasih 


sayang. Dengan demikian, tidaklah berlebihan apabila ada yang 


mengatakan, “Sempitnya dada untuk menerima uzur dan tidak 


mau menutup mata dari kesalahan adalah sebab hancurnya 


rumah tangga.” 


14 


Termasuk perkara yang perlu diperhatikan bagi sepasang 


suami istri bahwa hari-hari awal pernikahan adalah masa-masa 


untuk saling mengenal pribadi dan sifat masing-masing. Orang 


yang berakal lagi cerdas, walau dalam waktu yang singkat, tentu 


akan dapat memahami pribadi teman hidupnya. Apa yang dia 


sukai, apa yang dibencinya, apa kekurangannya, dan apa 


kelebihannya. Setelah itu, dia bergaul dengan pasangannya sesuai 


dengan apa yang dipahami dan dikenalinya. Tentu saja, 


membangun keluarga yang bisa saling memahami bukanlah hal 


yang mudah. Siapa yang berhasil melakukannya, dia akan 


memperoleh kebahagiaan yang tiada terkira. Karena itulah, 


hamba-hamba yang beriman memohon kepada Allah Shubhanahu 


w ata’alla, Rabb mereka, agar memberi rezeki kepada mereka 


berupa istri-istri yang dapat menyejukkan mata-mata mereka. 


Allah Shubhanahu wata’alla berfirman menyebutkan doa 


tersebut, dan orang-orang yang berkata dalam doa mereka, 





“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami rezeki berupa 


istri-istri dan anak-anak (keturunan) yang menjadi penyejuk mata 


bagi kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang 


bertakwa.” (al-Furqan: 74). 


Apa yang kami uraikan di atas merupakan pembuka 


terhadap masalah yang hendak kita bicarakan, yaitu pembicaraan 


seputar al-hayat az-zaujiyah, kehidupan sepasang insan dalam 


sebuah rumah tangga.  


Tahapan pertama yang ditempuh bagi seseorang yang ingin 


membangun sebuah keluarga adalah memilih teman hidup. 


Seorang lelaki sebagai pihak yang mencari, mungkin harus bolak


balik bertanya dan mencari tahu, siapa wanita yang bisa diajaknya 


bekerja sama dalam hidup ini. Yang mau menjadi syarikah hayah 


(teman hidup) nya yang mau setia menemaninya dalam suka dan 


duka, dalam tawa dan tangis. Di sisi lain, seorang wanita berada 


pada pihak yang menanti. Adakah seseorang akan mengetuk 


pintu rumah walinya, yang akan membawanya dari kesendirian 


menuju kebersamaan yang penuh dengan ketenangan? 


Apabila perkara memilih ini lebih mudah bagi lelaki, tidak 


demikian halnya bagi wanita. Di sinilah peran wali, ia hendaknya 


menolongnya mewujudkan masa depannya. Hal ini adalah 


16 


amanat besar yang harus disadari oleh setiap wali yang takut 


kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan berharap kepada -Nya. 


Hendaknya si wali mengamalkan wasiat Nabi Muhammad 


Shalallahu ‘alaihi wa sallam, 


“Tidaklah seseorang memiliki tiga anak perempuan atau tiga 


saudara perempuan, lalu dia berbuat baik kepada mereka, 


melainkan dia pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud dan at


Tirmidzi, hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam ash


Shahihah no. 294 dan Shahih al-Adabil Mufrad) 


Dalam lafadz lain disebutkan, 


“Siapa yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara 


perempuan lalu dia bertakwa kepada Allah dan menegakkan 


urusan mereka (mengurusi mereka), orang tersebut dengan aku 


di surga seperti ini—beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk 


dan jari tengah.” (ash-Shahihah no. 294 (Al-Hasan al-Bashri 


pernah ditanya seseorang, “Aku memiliki seorang putri. 


Menurutmu, kepada siapa aku nikahkan putriku tersebut?” 


Al-Hasan menjawab, “Nikahkan putrimu dengan seorang yang 


bertakwa kepada Allah Shubhanahu wata’alla. Jika orang yang 


bersifat demikian mencintai putrimu (sebagai istrinya), niscaya dia 


akan memuliakannya. Namun, apabila dia membencinya, dia tidak 


17 


akan menzalimi istrinya.” (Sebagaimana dinukil dalam catatan 


kaki Tuhfatul ‘Arus, hlm. 166). 


Seorang lelaki hendaklah mencari istri yang bersedia 


menjalankan dengan baik kewajibannya sebagai istri sesuai 


dengan kesanggupannya dan mau menerima suami apa adanya. 


Bisa jadi, perjalanan yang ditempuh bersamanya akan lama dan 


panjang. Hendaklah seorang lelaki menyadari bahwa istri adalah 


teman sepanjang umurnya yang tersisa sehingga teman tersebut 


harus bersifat amanah dan bersedia memenuhi apa yang menjadi 


tanggung jawabnya. Apabila Allah Shubhanahu wata’alla 


menetapkan kebersamaan itu langgeng, tentu istri yang demikian 


akan menjadi penolong terbaik bagi suaminya. Namun, apabila 


pernikahan harus kandas di tengah jalan dan kebersamaan hanya 


akan jadi derita jika dipertahankan, istri yang demikian akan 


menutup cacat dan cela yang pernah didapatkannya selama 


bersama sang suami. Dengan demikian, memilih pasangan hidup 


harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak asal-asalan. Hal 


ini karena dia akan menyertai Anda dalam bagian yang paling 


rahasia sekalipun bagi hidup Anda. Dia akan menemani Anda 


dalam manis dan pahitnya hidup, panjang atau pendeknya hidup, 


bahagia atau kesedihannya. Seorang suami hendaklah berpikir 


panjang. Apakah wanita yang dipilihnya itu akan menjadi 


18 


penolong baginya saat dia menghadapi rintangan dalam 


kehidupan yang memang penuh dengan perkara yang 


mengejutkan? Ataukah si wanita akan membiarkannya sendiri 


menghadapi


 dukanya? 


Sebelum 


Menjatuhkan Pilihan 


Ada beberapa hal yang kiranya tak patut diabaikan oleh seorang 


lelaki saat mencari wanita yang akan dipersuntingnya. 


1. Menimbang perangai ibu calon istri, apabila memungkinkan. 


Di saat seorang lelaki memutuskan untuk menikah dan sedang 


mencari seorang wanita yang mau menjadi serikat dalam 


hidupnya, hendaklah yang turut menjadi pertimbangannya 


adalah perangai ibu si wanita yang hendak dilamarnya -jika hal 


itu mudah baginya. Menurut pengamatan yang panjang, 


tampak bahwa banyak anak perempuan meniru perangai 


ibunya, atau sedikit banyak ada pengaruh sang ibu pada diri si 


putri. 


Maka dari itu, cari tahulah tentang ibunya. Walaupun hal 


ini tidak mesti, namun tidak ada salahnya menjadi bahan 


pertimbangan, lebih-lebih jika terdapat banyak pilihan dan 


semuanya baik secara lahir. Betapa banyak rumah tangga yang 


bermasalah disebabkan ibu mertua turut campur tangan. 


Betapa banyak istri yang berani kepada suaminya karena 


19 


dirusak oleh ibunya. Betapa banyak istri yang suka menuntut 


macam-macam kepada suaminya karena diajari dan dikompori 


oleh ibunya. Betapa banyak pula istri yang mengingkari 


kebaikan suaminya dan tidak bergaul secara ma’ruf dengan 


suaminya karena melihat perbuatan sang ibu kepada sang 


ayah dahulu, yang kemudian berpengaruh dan tertanam 


dalam jiwanya. Namun, ada pula ibu mertua yang baik, yang 


mengarahkan putrinya agar menjadi istri yang baik. Ia bisa 


menjaga rahasia dan turut membantu rumah tangga putrinya 


agar tetap utuh. Ia menganggap pemberian yang sedikit dari 


suami putrinya layaknya sebuah gunung yang besar. Tentu ibu 


mertua seperti ini akan menggembirakan menantunya (suami 


putrinya). Di sisi lain, ibu mertua tipe ini akan memberinya 


ketenangan apabila suatu ketika ia terpaksa harus 


meninggalkan si istri bersama ibunya. Ia tahu bahwa saat ia 


kembali ke sisi istrinya nanti, niscaya ia akan mendapati 


istrinya lebih baik dari yang sebelumnya dengan didikan dan 


arahan yang diberikan oleh sang ibu selama ditinggalnya. 


Apabila Anda hendak menikah, jadilah orang yang cerdas 


Tanyakan tentang ranting dan tanyakan pula tentang 


dahannya. 


20 


Ada hikayat indah yang sering dibawakan oleh para 


penulis dalam buku-buku mereka yang berbicara tentang 


pernikahan. Tidak ada salahnya kita nukilkan di sini sebagai 


ibrah. Syuraih al-Qadhi berkata, “Aku meminang seorang 


wanita dari Bani Tamim. Saat hari pernikahanku dengannya, 


datanglah teman-teman wanitanya memberi hadiah 


kepadanya hingga ia masuk menemuiku.” Aku berkata, 


“Termasuk ajaran sunnah, apabila seorang istri dipertemukan 


dengan suaminya hendaknya si suami bangkit mengerjakan 


shalat dua rakaat, lalu memohon kebaikan istrinya kepada 


Allah 


Shubhanahu wata’alla dan berlindung dari 


kejelekannya.” Aku lantas berwudhu. Ternyata, istriku pun 


berwudhu seperti wudhuku. Aku lalu melakukan shalat, 


ternyata


 ia


 pun shalat


 mengikuti


 shalatku. 


Tatkala rumah telah sepi, tinggal kami berdua, aku 


mendekatinya lalu mulailah tanganku menjulur kepadanya. 


Istriku berkata saat itu, “Jangan terburu-buru, wahai Abu 


Umayyah.” 


Lantas istriku melanjutkan ucapannya, “Alhamdulillah, 


aku memohon pertolongan -Nya dan aku bershalawat atas 


Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan 


21 


para sahabat beliau. Amma ba’du. Aku adalah wanita yang 


asing,


 tidak


 ada


 pengetahuanku tentang akhlakmu. 


Terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku 


akan melakukannya, dan apa yang engkau benci niscaya aku 


akan menjauhinya. Sekarang, engkau telah memiliki diri ini 


dengan ketetapan dari Allah Shubhanahu wata’alla yang mesti 


terjadi, maka lakukanlah apa yang Allah Shubhanahu wata’alla 


perintahkan, dalam firman –Nya, “Apakah menahan dengan 


cara yang ma’ruf atau melepas (mencerai) dengan cara yang 


baik.” (al-Baqarah: 229). Aku berkata, “Alhamdulillah, aku 


memuji Allah Shubhanahu wa ta’alla dan memohon 


pertolongan kepada-Nya, shalawat dan salam semoga tertuju 


kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, 


keluarga dan segenap sahabat beliau. Amma ba’du… Sungguh 


engkau telah mengucapkan kalimat yang jika engkau benar


benar berada di atasnya, hal itu menjadi keberuntungan 


bagiku. Namun, jika engkau meninggalkannya, niscaya hal itu 


akan menjadi hujah yang memberatkanmu. Aku suka ini dan 


aku benci itu. Hal-hal baik yang engkau lihat dariku, maka 


sebarkanlah. Namun, kejelekan yang engkau lihat, maka 


tutupilah.” Sang istri berucap lagi, “Apa engkau suka apabila 


aku mengunjungi keluargaku?” “Aku tidak suka keluarga 


22 


istriku menjadi bosan kepadaku,” jawabku. Istriku kembali 


mengajukan pertanyaannya, “Di antara tetanggamu, siapa 


yang engkau senangi masuk ke rumahmu sehingga aku akan 


izinkan (ia masuk rumahmu), dan siapa yang tidak engkau 


sukai sehingga aku pun tidak suka?”. “Bani Fulan adalah kaum 


yang saleh, sedangkan Bani Fulan (yang lain) adalah kaum 


yang buruk,” jawabku. Syuraih al-Qadhi akhirnya menyatakan, 


“Aku pun melewati malam yang terindah bersamanya. Waktu 


setahun pun berlalu dalam kebersamaanku dengannya. Tidak 


pernah aku melihat darinya selain perkara yang aku senangi. 


Ketika akhir tahun saat aku datang dari majelis hakim, tiba


tiba aku bertemu dengan seorang wanita tua.” Aku bertanya, 


“Siapa perempuan tua itu?” Dijawab, “Fulanah, ibu dari 


istrimu.” 


“Marhaban, ahlan wa sahlan,” sambutku. 


Saat aku telah duduk, datanglah ibu mertuaku tersebut seraya 


berkata, 


“Assalamu ‘alaik, wahai Abu Umayyah.” 


“Wa ‘alaikum salam, marhaban bik wa ahlan,” sambutku. 


Mertuaku bertanya, “Bagaimana yang engkau lihat dari 


istrimu?” Aku jawab, “Istriku adalah sebaik-baik istri dan 


teman yang paling sesuai. Sungguh ibu telah mendidiknya 


dengan adab yang terbaik. Ibu telah melatihnya dengan 


latihan yang paling bagus. Semoga Allah Shubhanahu wa 


23 


ta’alla membalas ibu dengan kebaikan.” “Wahai Abu 


Umayyah! Jika ada sesuatu yang tidak menyenangkanmu dari 


perilaku istrimu, peganglah cambuk,” nasihat ibu mertuaku. 


Ibu mertua ini meminta izin untuk datang setiap akhir tahun 


ke tempat kami. Pada kesempatan itulah beliau memberi 


nasihat kepada kami. Aku telah menjalani masa dua puluh 


tahun bersama istriku. Selama itu pula tidak pernah aku 


melihat darinya sesuatu yang patut dicela.” 


2. Memilih


 istri


 dari


 keluarga


 yang baik 


Keluarga baik-baik yang memiliki sebutan yang baik di 


lingkungannya, 


bukan 


keluarga 


yang 


tercoreng 


kehormatannya, hendaknya menjadi pertimbangan saat 


memilih wanitanya. Merekalah yang akan menjadi akhwal bagi 


anak-anak yang akan terlahir dari pernikahan tersebut. Selain 


itu, sedikit banyak mereka akan punya pengaruh terhadap istri 


dan anak-anak, apalagi di saat suami terpaksa meninggalkan 


istri dan anak-anaknya di tengah-tengah mereka, bisa jadi 


karena urusan niaga, rihlah menuntut ilmu, atau berangkat 


untuk berjihad fi sabilillah. 


3. Mencari tahu sifat wanita yang ingin dinikahi. 


Mencari tahu dan bertanya secara detail tentang wanita yang 


24 


 


25 


hendak diajak bekerja sama membangun mahligai rumah 


tangga adalah keniscayaan karena seorang lelaki akan 


menjalin ikatan yang kuat dengannya dan akan terus 


menemaninya, insya Allah, sampai salah satunya harus 


berpisah dengan dunia. Wanita yang bagus agamanya dan 


menjaga kehormatan dirinya, harusnya menjadi pilihan utama. 


Rasul yang mulia telah bertitah, 





“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, 


kedudukannya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. 


Utamakanlah wanita yang memiliki agama. Jika tidak 


demikian, engkau akan celaka.” (HR. al-Bukhari no. 5090 dan 


Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah). 


Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda pula, 





“Dunia itu perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah 


wanita salehah.” (HR. Muslim no. 3638 dari Abdullah ibnu Amr 


ibnul Ash ).  


Adapun wanita yang buruk dan lahiriahnya menyimpang, 


bagaimanapun cantik dan memesonanya, hendaknya 


disingkirkan dari pilihan. Yang diinginkan oleh seorang lelaki 


yang baik adalah mencari istri, bukan wanita penghibur. 


Apabila seorang lelaki berpaling dari wanita yang salehah, dan 


justru memilih wanita yang ‘rendahan’ karena pertimbangan 


kelebihan fisik, harta, atau kedudukannya, berarti ia telah 


menjerumuskan dirinya kepada kebinasaan. Renungkanlah: 


Rumahmu adalah pokok hartamu (modalmu), maka 


perhatikanlah di tangan siapa engkau akan meletakkannya? 


Carilah wanita yang berada di atas jalanmu, pada seluruh 


keadaanmu, dalam hal ketaatan kepada Allah Shubhanahu 


wata’alla. Apabila engkau berhasil mendapatkannya, 


peganglah erat-erat karena wanita yang demikian adalah harta 


dan perbendaharaan berharga yang patut disimpan. 


Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam pernah bersabda kepada 


Umar ibnul Khaththab, 


26 





 “Maukah aku beri tahukan kepadamu tentang sebaik-baik 


perbendaharaan seorang lelaki? (Yaitu) istri salehah yang 


ketika dipandang akan menyenangkannya, ketika diperintah 


akan menaatinya, dan ketika ia pergi, si istri akan menjaga 


dirinya untuk suaminya.” (HR. Abu Dawud no. 1417, 


dinyatakan sahih menurut syarat Muslim dalam al-Jami’ush 


Shahih 3/57). 


Umar ibnul Khaththab radiyallahu’anhu bertanya kepada 


Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! 


Harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau menjawab, 





 “Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang 


bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri mukminah yang 


membantunya dalam urusan akhiratnya.” (HR. Ibnu Majah no. 


27 


1856, dinyatakan sahih dalam Shahih Ibni Majah) 


WAllahu ta’ala a’lam bish-shawab. 


(bersambung, insya Allah), (Disusun kembali dengan beberapa 


perubahan dari tulisan asy-Syaikh Salim al-’Ajmi hafizhahullah 


yang dimuat di Muntadayat al-Ukht as-Salafiyyah dengan judul 


Walyasa’uka Baituk min Ajli Hayah Zaujiyah Hani’ah dan rujukan 


yang lain) 


Catatan Kaki: 


1. Tempat untuk bersenang-senang. (Syarh Sunan an-Nasa’i, al


Imam as-Sindi, 6/69) 


2. Karena keindahan dan kecantikannya secara lahir, atau karena 


akhlaknya yang bagus secara batin, atau karena si istri 


senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa 


kepada Allah Shubhanahu wata’alla. (Ta’liq Sunan Ibnu Majah, 


Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, Bab “Afdhalun 


Nisa”, 1/596, ‘Aunul Ma’bud 5/56) 


3. Untuk melakukan urusan syar’i atau urusan biasa. (‘Aunul 


Ma’bud 5/56) 


4. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya. 


(‘Aunul Ma’bud 5/56) 


28 


5. Pukullah setelah melewati tahapan sebelumnya; nasihat dan 


hajr. 


6. Kerabat dari pihak ibu. 


7. Tempat untuk bersenang-senang. (Syarh Sunan an-Nasa’i, al


Imam as-Sindi, 6/69. 


8. Karena keindahan dan kecantikannya secara lahir, karena 


akhlaknya yang bagus secara batin, atau karena si istri 


senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa 


kepada Allah Shubhanahu w ata’alla. (Ta’liq Sunan Ibnu 


Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab 


“Afdhalun Nisa’”, 1/596, ‘Aunul Ma’bud 5/56). 


9. Untuk melakukan urusan syar’i atau urusan biasa. (‘Aunul 


Ma’bud 5/56) 


10. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya. 


(‘Aunul Ma’bud 5/56) 


Sumber : Majalah AsySyariah Edisi 075  


29 



Tulisan Terbaru

Mutiara Nasehat Umar ...

Mutiara Nasehat Umar Al-Faruq  radhiyallahu ‘anhuiyallahu ‘anhu 

Mutiara Nasehat Abu U ...

Mutiara Nasehat Abu Ubaidah   radhiyallahu ‘anhu 

Mutiara Nasehat Abu B ...

Mutiara Nasehat Abu Bakar ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu 

Musibah Umat Yang Mem ...

Musibah Umat Yang Memilukan